A. Keadaan Hukum Perdata Di Indonesia
Perkataan
”Hukum Perdata” dalam arti yang luas meliputi semua hukum ”privat materiil”,
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
Perkataan ”perdata” juga lazim dipakai sebagai lawan dari ”pidana”.
Ada
juga orang memakai perkataan "hukum sipil” untuk hukum privat materiil
itu, tetapi karena perkataan ”sipil” itu juga lazim dipakai sebagai lawan dari
”militer,” maka lebih baik kita memakai istilah "hukum perdata” untuk
segenap peraturan hukum privat materiil.
Perkataan
”Hukum Perdata”, adakalanya dipakai dalam arti yang sempit; sebagai Iawan
’hukum dagang,” seperti dalam pasal 102 Undang-undang Dasar Sementara, yang
menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di negara kita ini terhadap Hukum
Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun Hukum Pidana Militer, Hukum
Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta kekuasaan pengadilan.
Hukum Perdata di Indonesia, ber-bhinneka yaitu beraneka ragam
Pertama, ia berlainan
untuk segala golongan warga negara:
Untuk
golongan bangsa Indonesia asli, berlaku ”Hukum Adat,” yaitu hukum yang sejak
dahulu telah berlaku dikalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum
tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal
dalam kehidupan masyarakat.
Untuk
golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan
Tionghoa mengenai Burgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu
bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pemikahan
dan mengenai ”penahanan” pemikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk
mereka ada pula ”Burger1ijke Stand” tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu
peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi), karena hal ini tidak terkenal di
dalam Burgerlijk Wetboek.
Akhirnya
untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal Tionghoa atau Eropa
(yaitu : Arab, India dan1ain-lain) berlaku sebahagian dari
Burgerlijk Wetboek, yaitu
pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai hukum kekayaan harta benda
(vermogensrecht), jadi tidak yang mengenai hukum kepnbadian dan kekeluargaan
(personen en familierecht) maupun yang mengenai hukum warisan. Mengenai
bagian-bagian hukum yang belakangan ini, berlaku hukum mereka sendiri dari
negeri asalnya sendiri.
Hukum
yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ada ber-bhinneka
lagi, yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah.
Untuk
mengerti keadaan Hukum Perdata di Indonesia sekarang ini, perlulah kita sekedar
mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah Hindia-Belanda dahulu terhadap
hukum di Indonesia.
Pedoman
politik bagi Pemerintah Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan
dalam pasal 131 ”Indische Staatsregeling” (sebelum itu pasal 75
Regeringsreglement), yang dalam pokoknya sebagai berikut :
a.
Hukum Perdata dan dagang (begitu pula
Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan Pidana) harus‘diletakkan dalam
kitab-kitab undang-undang, yaitu dikodifisir.
b.
Untuk golongan bangsa Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku
di Negeri Belanda (asas konkordansi).
c.
Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan
sebagainya), jika bemyata ”kebutuhan kemasyarakatan” mereka menghendakinya,
dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku bagi mereka,
baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat
suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-atumn
yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta
oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
c.
Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan
di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa, diperbolehkan
”menundukkan diri “(”Onderwerpen”) pada hukum yang berlaku untuk bangsa Eropa.
Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya mengenai
suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4).
d.
Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi
mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu
”Hukum Adat (ayat 6)
Berdasarkan
pedoman-pedoman yang kita sebutkan di atas, di zaman Hindia-Belanda telah ada
beberapa peraturan undang-undang Eropa yang telah ”dinyatakan berlaku” untuk
Bangsa Indonesia asli, seperti pasal 1601-1603 lama dari B.W., yaitu perihal
perjanjian kerja atau perburuhan (Staatsblad 1879 No.256), pasal 1788-1791 B.W.
perihal hutang-hutang dari perjudian (Staatsblad 1907 No. 306) dan beberapa
pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu sebagian besar dari Hukum
Laut (Staatsblad 1933 No. 49).
Selanjutnya,
ada beberapa peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia,
seperti : Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 No.
74), Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia atau I.M.A. (Staatsblad 1939
No. 569 berhubung dengan N0. 717) dan Ordonansi tentang Perkumpulan bangsa Indonesia
(Staatsblad 1939 No. 570 berhubung dengan No. 717).
Akhirnya,
ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara,
misahaya, Undang-Undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912), Peraturan Umum
tentang Koperasi (Staatsblad 1933 No. 108), Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938
No. 523), dan Ordonansi tentang Pengangkutan diudara (Staatsblad 1938 No. 98).
Perihal
kemungkinan untuk menundukkan diri pada Hukum Eropa telah diatur lebih lanjut
di dalam Staatsblad 191 7N0. 12. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan,
yaitu :
a. Penundukan pada seluruh Hukum Perdata Eropa;
b.
Penundukan pada sebagian Hukum Perdata Eropa, yang dimaksudkan hanya pada hukum
kekayaan harta benda saja (vermogensrecht), seperti yang telah dinyatakan
berlaku bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa;
c. Penundukan mengenai suatu perbuatan hukum
tertentu;
d.
Penundukan secara ”diam-diam”, menurut pasal 29 yang berbunyi : ”Jika seorang
bangsa Indonesia asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal di
dalam hukumnya sendiri, ia dianggap secara diam-diam menundukkan dirinya pada
hukum Eropa”.
Menurut
riwayatnya, pasal 29 tersebut ini ditujukan kepada seorang bangsa Indonesia
yang menandatangani surat aksep atau wesel.
Riwayat
perundang-undangan dalam lapangan Hukum Perdata untuk golongan Timur Asing,
sebagai berikut :
Mula-mula
dengan peraturan yang termuat di dalam Staatsblad 1855 No. 79 Hukum Perdata Eropa
(B.W. dan W.v.K.) dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan,
dinyatakan berlaku untuk semua orang Timur Asing.
Kemudian, dalam tahun
1917, mulailah diadakan pembedaan antara golongan Tionghoa dan yang bukan
Tionghoa, karena untuk golongan Tionghoa dianggapnya hukum Eropa yang sudah
diperlakukan terhadap mereka itu dapat diperluas lagi.
Untuk
golongan Tionghoa itu lalu diadakan suatu peraturan tersendiri mengenai Hukum
Perdata mereka, yaitu peraturan yang diletakkan dalam Staatsblad tahun 1917 No.
129 (berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sejak tanggal 1 September 1925).
Menurut peraturan ini sekarang berlaku bagi bangsa Tionghoa : seluruh hukum privat
Eropa terkecuali pasal-pasal yang mengenai Burgerlijke Stand, upacara-upacara
sebelum berlangsung pernikahan (bagian 2 dan 3 dari Titel 4 Buku I B.W.) dan
bagi orang Tionghoa diadakan suatu Burgerlijke Stand tersendiri serta suatu
peraturan tersenditi pula tentang pengangkatan anak (adopsi), yaitu dalam
bagian II Staatsblad tahun 1917 No. 129 tersebut.
Bagi
golongan Timur Asing lain-lainnya (Arab, India dan sebagainya) kemudian juga
diadakan suatu peraturan tersendiri, dalam Ordonansi yang termuat dalam
Staatsblad tahun 1924 No. 556 (mulai berlaku sejak tanggal 1 Maret 1925),
menurut peraturan tersebut pada pokoknya bagi mereka itu berlaku hukum privat Eropa
dengan kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum warisan, sehingga mereka itu
untuk bagian-bagian hukum yang belakangan ini tetap tunduk pada hukum asli
mereka sendiri. Tetapi bagian yang mengenai pembuatan surat wasiat (testament),
berlaku untuk mereka.
Dalam
hubungan ini perlu kiranya diterangkan, ketika dalam tahun 1926 dalam B.W.
dimasukkan suatu peraturan baru mengenai perjanjian perburuhan
(arbeidscontract), peraturan baru ini tidak dinyatakan berlaku lagi bagi lain
golongan selainnya golongan bangsa Eropa, sehingga bangsa Indonesia dan Timur
Asing masih tetap tunduk di bawah peraturan yang lama, yaitu pasal-pasal 1601
sampai dengan 1603 B.W.
Oleh
karena Undang-undang Dasar kita tidak mengenal adanya golongan-golongan warga
negara, adanya hukum yang berlainan untuk berbagai golongan itu dianggap
janggal. Kita sedang berusaha untuk membentuk suatu kodifikasi Hukum Nasional.
Sementara belum tercapai, B.W. dan W.v.K. masih berlaku, tetapi dengan
ketentuan bahwa Hakim (Pengadilan) dapat menganggap suatu pasal tidak berlaku
lagi jika dianggapnya bertentangan dengan keadaan jaman kemerdekaan sekarang ini.
Dikatakan bahwa B.W. dan W.v.K. itu tidak lagi merupakan suatu ”Wetboek” tetapi
suatu ”rechtsboek.”
B.
Sejarah
Hukum Perdata Di Indonesia
Hukum
perdata tertulis yang berlaku di Indonesia merupakan produk hukum perdata
Belanda yang diberlakukan dengan asas konkordansi,
yaitu hukum yang berlaku di negri jajahan (Belanda) saat dengan ketentuan
yang berlaku di negeri penjajahan.
Secara
makrosubtansial perubahan-perubahan yang terjadi pada hukum perdata di Indonesia:
Pertama, pada mulanya hukum perdata Indonesia merupakan ketentuan-ketentuan
pemerintahan Hindia-belanda yang diberlakukan di Indonesia (Algemene Bepalingen
van Wetgeving/AB). Sesuai dengan Stbll. No. 23 tanggal 30
April 1847 yang terdiri dari 36 pasal; Kedua, dengan konkordansi pada tahun
1848 diundangkan KUH Perdata (BW) oleh pemerintah Belanda. Di samping BW
berlaku juga KUHD (WvK) yang diatur dalam Stbl. 1847 No.23.
Dalam
perspektif sejarah; hukum perdata yang berlaku diIndonesia terbagi dalam dua
periode, yaitu periode sebelum Indonesia merdeka dan periode setelah Indonesia
merdeka.
1.
Hukum Perdata pada Masa Penjajahan Belanda
Sebagai
negara jajahan, maka hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bangsa
penjajah. Hal yang sama untuk hukum perdata. Hukum perdata yang diberlakukan
bangsa Belanda untuk Indonesia telah mengalami adopsi dan perjalanan sejarah
yang sangat panjang.
Pada
mulanya hukum perdata Belanda dirancang oleh suatu panitia yang dibentuk tahun
1814 yang diketuai oleh Mr. J. M Kempers (1776-1824). Tahun 1816, Kempers
menyampaikan rencana code hukum tersebut pada pemerintah Belanda didasarkan
pada hukum Belanda Kuno dan diberi inama Ontwerp
Kempers. Ontwerp Kempers ini ditentang keras oleh P. Th. Nicolai, yaitu
anggota parlemen berkebangsaan Belgia dan sekaligus menjadi presiden pengadilan
Belgia. Tahun 1824 Kempers meninggal, selanjutnya penyusunan kodifikasi code hukum
diserahkan Nicolai.
Akibat
perubahan tersebut, dasar pembentukan hukum perdata Belanda sebagian besar
berorientasi pada code civil Perancis. Code civil Perancis sendiri meresepsi
hukum Romawi, corpus civilis dari
Justinianus. Dengan demikian hukum perdata Belanda merupakan kombinasi dari
hukum kebiasaan/hukum Belanda Kuno dan code
civil Perancis. Tahun 1838, kodifikasi hukum perdata Belanda ditetapkan
dengan Stbl. 838.
Pada tahun 1848, kodifikasi hukum perdata
Belanda diberlakukan di Indonesia dengan Stbl. 1848. Hukum ini hanya
diberlakukan bagi orang-orang Eropa dan dipersamakan dengan mereka (golongan
Tiong Hoa). Tujuh puluh tahun kemudian, yaitu pada tahun 1919, kodifikasi hukum
perdata Belanda yang diberIakukan di Indonesia dipertegas lagi dengan Stbl.
1919.
Dalam
perjalanannya bagi orang-orang selain Eropa, baik golongan Timur Asing golongan
Tiong Hoa dan bukan Tiong Hoa mengalami pembedaan dalam pelaksanaan
perundang-undangan dalamxhukum perdata, yaitu:
a. Melalui Stbl. 1855 No. 79 BW dan BvK dengan
kekecualian hukum kekeluargaan dan hukum waris dinyatakan berlaku untuk semua
orang Timur Asing.
b. Tahun 1917 diadakan pembedaan orang Tiong
Hoa dan non Tiong Hoa, karena bagi Tiong Hoa hukum Eropa yang berlaku saat itu
dapat diperluas.
c. Sejak 1 September 1925 untuk bangsa Tiong
Hoa di wilayah Indonesia berlaku Stbl. 1917 No. 129 seluruh hak privat Eropa
berlaku bagi bangsa Tiong Hoa kecuali pasal-pasal mengenai Buegerlijke stand,
upacara-upacara sebelum berlangsung pernikahan (Bagian 2 dan 3 titel 4 Buku I
BW) dan bagi bangsa Tiong Hoa diadakan BS tersendiri serta peraturan tersendiri
tentang adopsi anak dalam bagian II Stbl. 1917 No. 129
d. Bagi golongan Timur Asing (India, Arab, dan
lain-lain) pada tanggal 1 Maret 1925 dengan Stbl. Tahun 1924 No. 55 6 pada
pokoknya tunduk pada hukum privat,Eropa, kecuali hukum kekeluargaan dan hukum
warisan (tunduk pada hukum mereka sendiri kecuali mengenai pembuatan surat
wasiat/testamlent berlaku hukum BW).
e.
Tahun 1926 dalam BW ada peraturan baru tentang perjanjian perburuhan
(arbeidscontract) hanyai berlaku bagi gol. Eropa. Untuk gol. Indonesia dan
timur asing berlaku peraturan lama, yaitu pasal-pasal 1601 s.d. 1603 BW.
2.
Hukum Perdata Sejak Kemerdekaan
Hukum
perdata yang berlaku di Indonesia didasarkan pada Pasal II Aturan Peralihan UUD
1945, yang pada pokoknya menentukan bahwa segala peraturan dinyatakan masih
berlaku sebelum diadakan peraturan baru menurut UUD termasuk di dalamnya hukum
perdata Belanda yang berlaku di Indonesia. Hal ini untuk mencegah terjadinya
kekosongan hukum (rechtvacuum), di
bidang hukum perdata. I Menurut Sudikno Mertokusumo, keberlakuan hukum perdata
Belanda tersebut di Indonesia didasarkan pada beberapa pertimbangan, antara
lain:
a. Para ahli ticlak pernah mempersoalkan secara
mendalam tentang mengapa BW masih berlaku di Indonesia. Tatanan hukum Indonesia
hendaknya tidak dilihat sebagai kelanjutan dari’ tata hukum Belanda, tetapi
sebagai tata hukum nasional
b. Sepanjang hukum tersebut (BW) tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, peraturan perundang-undangan serta
dibutuhkan
c. Apabila hukum tersebut bertentangan, maka
menjadi tidak berlaku lagi
Selain
itu, secara keseluruhan hukum perdata Indonesia dalam perjalanan sejarahnya
mengalami beberapa proses perubahan yang mana perubahan tersebut disesuaikan
dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.
A.
Hukum Agraria
Sejak
24 September 1960, melalui Lembaran Negara 1960-104 dan Tambahan Lembaran Negara
Nomor 2043, diberlakukan Undang-Undang Pertanahan Nasional, yaitu Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Dengan undang-undapg
tersebut sekaligus mencabut berlakunya Buku II KUH Perdata mengenai hak-hak
atas tanah, kecuali hipotek. Undang-Undang Pokok Agraria pada dasarnya mengatur
secara garis besar tentang keberadaan dan kedudukan pertanahan yang disesuikan
dengan keadaan bangsa Indonesia sendiri, terutama hukum adat.
Beberapa
pertimbangan yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria
tersebut, adalah:
a.
Hukum
agraria yang berlaku sebelnmnya sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan penjajah, sehingga bertentangan dengan
kepentingan rakyat dan negara di dalam melaksanakan pembangunan;
b.
Sebagai akibat dari politik hukum
pemerintahan jajahan, maka hukum agraria bersifat dualisme, yaitu berlakunya
peraturan-peraturan dari hukum adat dan peraturan-peraturan yang didasarkan
pada hukum Barat, sehingga menimbulkan berbagai masalah
c.
Bagi
rakyat Indonesia asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum.
Dengan
demikian, berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, pada pokoknya bertujuan,
antara lain:
a.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional, yang merupakan alat untuk menciptakan kemakmuran,
kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat;
b.
Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan
dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat Indonesia.
B.
Hukum Perkawinan
Bagi
suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah inutlak adanya Undang-Undang
Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan
landasan hukum perkawinan.
Sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Perkawinan, ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku
di Indonesia masih terpecah-pecah. Peraturan-peraturan tersebut di antaranya:
Pertama,
Buku I KUH Perdata, yang mengatur tentang perkawinan bagi golongan Eropa, warga
negara Indonesia keturunan Eropa, dan yang disamakan dengan mereka;
Kedua,
Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijke
Ordonnantie Christen Indonesiers Huwelijke Ordonnantie Christen Indonesiers
atau H.O.C.I, Stbl. 1933 – 74), yaitu ketentuan tentang perkawinan bagi
golongan bumiputra yang beragama Kristen.
Ketiga,
Ordonansi Perkawinan Campuran Stbl. 1898-158, yaitu ketentuan yang mengatur
tentang perkawinan campuran.
Keempat,
“bagi orang-orang Indonesia asli beragama Islam berlaku hukum agama yang
direalisir dari hukum adat dan orang-orang Indonesia asli yang lainnya berlaku
hukum Adat
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Perkawinan Lembaran Negara RI Tahun 1974 Nomor 1 dan Tambahan Negara RI Nomor
3019, maka sekaligus mencabut ketentuan-ketentuan hukum ter- sebut dan
peraturan-peraturan lain. khususnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh
telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi sepenuhnya.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 dijabarkan lebih jauh dalam peraturan-peraturan pelaksanaan,
misalnya: Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun
1990 tentang Perubahan dan Penambahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1983.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 beserta aturan operasionalisasinya, memberikan bagi prosesi
dan hukum perkawinan khususnya bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam
(muslim). Sedangkan bagi bangsa Indonesia yang non-muslim tetap tunduk pada KUH
Perdata ataupun hukum adat.
C.
Hukum Islam yang Direseptio
Secara
faktual, bahwa masyarakat lndonesia mayoritas beragama Islam; Dalam tata cara
peribadatan ternyata mereka berpedoman pada berbagai sumber (mazhab) yang
berbeda. Namun yang diakui mempunyai otoritas tertinggi serta mempunyai
pengikut terbesar ada empat mazhab, yaitu:
a.
Mazhab
Hanafi, yaitu mazhab pengikut-pengikut Imam Abu Hanifah (70 H->150 H).
b. Mazhab Maliki, yakni mazhab
pengikut-pengikut Imam Maliki ibn Anas (93 H-179'H).
c. Mazhab Syafi’I, yakni mazhab pengikut-pengikut
Imam Mohammad Idris Al Syafi’I (150 H-204 H).
d. Mazhab Hambali, yakni mazhab
pengikut-pengikut Imam Ahmad bin Hambali (164 H-241 H).
Berdasarkan
Surat Edaran Biro Peradilan Agama tanggal 18 Februari 1 95 8 No. B/I/735 hukum
materiil yang dijadikan pedoman dalam bidang hukum Islam di Indonesia tersebut
bersumber pada 13 kitab yang kesemuanya mazhab Safi’I, dengan demikian
diperlukan perluasan dan penambahan mazhab-mazhab yang lain, demi kebutuhan
hukum masyarakat.
Melalui
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi hukum Islam inilah
direseptio berbagai sumber aturan (mazhab) hukum yang berlaku bagi orang yang
beragama Islam.
Kompilasi
hukum Islam mengatur tentang 3 (tiga) hal, yaitu: hukum perkawinan, hukum
kewarisan, dan hukum perwakafan. Keberlakuan tentang kompilasi hukum Islam
diperuntukkan khusus bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam.
D. Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda
yang Berkaitan dengan Tanah
Eksistensi
hak tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah sebetulnya sudah ada sejak
diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria. Namun keputusan-keputusan yang
mengatur hak tanggungan itu tidak dibahas, sehingga ketentuan-ketentuan
mengenai hipotek pada Buku II BW dinyatakan masih berlaku.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka sekaligus mencabut
berlakunya Hipotek yang diatur dalam Buku II KUH Perdata mengenai tanah dan
ketentuan-ketentuan mengcnai Creditverband dalam Stbl. 1908-542 yang sebelumnya
telah diubah dalam Stbl. 1937-190.
Tujuan
utama pemberlakuan Undang-Undang Hak Tanggungan sebagai pengganti hipotek
sebagaimana diatur dalam Buku II BW, adalah karena ketentuan tersebut sudah
tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan sehubungan dengan
perkembangan tata perekonomian Indonesia.
E.
Jaminan Fidusia
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang ini terdiri atas 7
bab 41 pasal. Hal-hal yang diatur antara lain; pembebanan, pendaftaran,
pengalihan, dan khususnya jaminan fidusia, hak mendahului, dan eksekusi jaminan
fidusia.
Pertimbangan
lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia meliputi:
a. Adanya ketentuan yang sangat besar dan terus
meningkat bagi dunia usaha atas tersedianya dana, perlu diimbangi dengan adanya
ketentuan hukum yang jelas dan lengkap yang mengatur mengenai lembaga jaminan;
b. Jaminan fidusia sebagai salah satu bentuk
lembaga jaminan sampai saat ini masih didasarkan atas yurisprudensi dan belum
ada undang-undang yang mengaturnya; dan
c. Memenuhi kebutuhan hukum yang mengacu pada
pembangunan nasional, serta mampu memberikan perlindungan hukum dan kepastian
hukum.
F.
Lembaga Penjamin Simpanan
UU
LPS di dalamnya mengatur hubungan hukum publik dan mengatur hubungan hukum
perdata, konsisten dengan hal itu, maka konsep perlindungan hukum terhadap
nasabah penyimpan dana dalam UU LPS adalah perlindungan hukumnya sesuai dengan
ketentuan yang mengatur hubungan hukum publik, di mana nasabah penyimpan dana
mempcroleh hak/perlindungan sesuai yang diberikan oleh negara/badan hukum
publik/LPS (keadilan distributif) dan
sesuai dengan ketentuan yang mengatur hubungan hukum perdata, di mana nasabah
penyimpan dana memperoleh hakl perlindungan sama banyaknya (keadilan commutatif).
Nasabah
penyimpan dana dalam konsep perlindungan hukum menurut UU LPS belum benar-benar
mendapatkan perlindungan hukum, khususnya dalam hubungan hukum publik antara
LPS dengan nasabah penyimpan dana.
Dengan
demikian jelaslah, bahwa keberadaan Hukum Perdata Indonesia dewasa ini berbeda
dan lebih luas cakupannya dari Hukum Perdata Barat yang menjadi induk dari
berlakunya Hukum Perdata Indonesia. Selain itu, juga keberadaan Hukum Perdata Indonesia
bertujuan untuk mewujudkan kodifikasi Hukum Nasional yang sesuai dengan jati
diri dan kepribadian bangsa Indonesia.
C.
Istilah
Dan Pengertian Hukum Perdata
1. Istilah
Pada
prinsipnya hukum menurut isinya dibagi menjadi dua macam, yaitu: hukum publik (publickrecht) dan hukum privat/perdata (privatrecht). Hukum publik adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum atau mengatur hal-hal
hukum yang menyangkut kepentingan umum. Sedangkan hukum privat/perdata adalah
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hal-hal yang bersifat
keperdataan/kepentingan pribadi. Adapun menurut Van Dunne
bahwa hukum perdata merupakan suatu peraturan
yang mengatur hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti
orang dan keluarga, hak milik, dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan
jaminan yang minimal bagi kehidupan.
Adapun
menurut Subekti, perkataan ‘hukum perdata” mengandung dua istilah, yaitu:
pertama, hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materiil,
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan.
Termasuk dalam pengertian hukum perdata dalam arti luas ini adalah hukum
dagang. Kedua, hukum perdata dalam arti sempit, dipakai sebagai lawan dari
“hukum dagang
.
2.
Penegertian Hukum
Perdata
Hukum
perdata hakikatnya merupakan hukum yang mengatur kepentingan antara warga
perseorangan yang satu dengan warga perseorangan lainnya. Kenyataanya para ahli
hukum mendefinisikan hukum perdata sesuai dengan sudut pandang mereka. Van
Dunne mengartikan hukum perdata sebagai suatu aturan yang mengatur tentang
hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan
keluarganya, hak milik, dan perikatan. Hal ini berbeda dengan hukum publik yang pengaturanya
memberikan jaminan yang minimal bagi kehidupan pribadi.
Menurut
H.F.A. Vollmar: Hukum perdata adalah aturan-aturan atau norma-norma yang
memberikan pembatas dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbadingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu
masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu
lintas
Senada
dengan H.F.A. Vollmar, mengatakan: Hukum perdata adalah hukum antara perorangan
yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain
dari dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat yang
pelaksanaanya di serahkan masing-masing pihak
Definisi
yang dikemukakan oleh Vollmar dan Mertokusumo, berujuk pada hukum perdata dari
aspek perlindungan hukum dan ruang lingkupnya. Pada konteks yang lebih
kompleks, Salim HS., berpendapat bahwa hukum perdata pada dasarnya merupakan
keseluruhan kaidah-kaidah hukum (baik tertulis/tidak tertulis) yang mengatur
hubungan antara subjek hukum satu dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan
Berdasarkan
pengertian tersebut di atas terkandung unsur-unsur dalam hukum perdata, yaitu:
a.
Adanya
kaidah hukum, yaitu: (1) Tertulis yang terdapat dalam perundang-undangan,
traktat, dan yurisprudensi; dan (2) Tidak tertulis yang timbul, tumbuh, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan).
b.
Mengatur
hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum lainya.
c.
Bidang
hukum yang diatur dalam hukum perdata, meliputi hukum orang, hukum keluarga,
hukum benda, dan sebagainya.
D. Sistematika Hukum Perdata
Adanya
Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel, disingkat W.v.K.) di
samping Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.)
sekarang dianggap tidak pada tempatnya, karena Hukum Dagang sebenamya tidaklah
lain dari Hukum Perdata. Perkataan ”dagang” bukanlah suatu pengertian hukum,
melainkan suatu pengertian perekonomian. Di berbagai negeri yang modern,
misalnya di Amerika Serikat dan di Swis juga, tidak terdapat suatu Kitab
Undang-undang Hukum Dagang tersendiri di samping peinbukuan Hukum Perdata
seumumnya. Oleh karena itu, sekarang terdapat suatu aliran untuk meleburkan
Kitab Undang-undang Hukum Dagang itu ke dalam Kitab Undang-undang Hukum
Perdata.
Hukum perdata menurut
ilmu hukum sekarang ini, Lazim di bagi dari empat bagian, yaitu:
a.
Hukum
tentang diri seseorang , memuat peraturan-peraturan tentang
manusia sebagai subyek dalam hukum, peraturan-peratunan perihal kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya
itu serta hal-hal yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
b.
Hukum Keluarga, mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu :
perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dan
isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele(pengampuan).
c.
Hukum Kekayaan, mengatur perihal
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Jika kita mengatakan
tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan ialah jumlah segala hak dan
kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang lain. Hak-hak kekayaan,
terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang dan karenanya
dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu
fihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak perseorangan. Hak mutlak
yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat dinamakan hak
kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas karangannya, hak seorang
atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau hak seorang pedagang
untuk memakai sebuah merek, dinamakan hak mutlak saja.
d.
Hukum Waris, mengatur hal harta tentang
benda atau kekayaan seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan, Hukum
Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga. Terhadap harta peninggalan
seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang setengah-setengah ini, Hukum Waris
lazimnya ditempatkan tersendiri.
Hukum
perdata tertulis Indonesia yang terkemas dalam kitab undang-undang hukum
perdata [burgerlijk wetboek) pertama kali diundangkan melalui Staatsblad
1847-23 dengan publikasi 30 April 1847, dan dinyatakan masih berlaku
berdasarkan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945.
Sesuai
dengan ketentuan Pasal 163 I.S diatur tentang penggolongan penduduk di Indonesia,
yaitu siapa-siapa yang masuk golongan Eropa, golongan BumiPutra, dan golongan
Timur Asing. Selanjutnya Pasal 131 I.S mengatur tentang hukum yang berlakupada
masing-masing golongan tersebut.
Pada
mulanya, Burgerlijk Wetboek hanya berlaku bagi golongan Eropa saja, tetapi dengan
adanya kebutuhan untuk memudahkan hubungan perdagangan dengan golongan Timur
Asing Tiong Hoa dan golongan Timur Asing bukan Tiong Hoa, makaStaatsblad
1917-129 jo Staatsblad 1919-81, Staatsblad 1924-557 dan Staatsblad 1925-92, Burgerlijk
Wetboek diterapkan bagi golongan Timur Asing Tiong Hoa. Baru kemudian dengan Ordonantie
9 Desember 1924, ditambahkan peraturan dari Staatsblad 1922-556 yang
diberlakukan sejak tanggal 1 Maret 1925.
Hampir
sebagian besar Burgerlijk Wetboek tersebut berlaku bagi golongan Timur Asing
Tiong Hoa dengan beberapa perkecualian, antara lain dengan introduksinya
peraturan-peraturan tentang adopsi. Sedangkan peraturan bagi golongan Timur Asing
bukan Tiong Hoa Iebih banyak mengandung perkecualian, seperti mengenai
ketentuan-ketentuan yang menyangkut hukum keluarga dan hukum Waris, terkecuali
untuk masalah-masalah yang berkaitan dengan testament.
Ketentuan
Pasal 131 Ayat 6 I.S, Burgerlijk Wetboek tidak berlaku bagi golongan BumiPutra,
jika pihak yang bersangkutan secara sukarela menundukkan diri [Stb. 1917—12].
Kemuclian berdasarkan surat edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 yang
ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, secara rinci
Mahkamah Agung Republik Indonesia menyatakan bahwa pasal-pasaI tertentu dalam
BW, yaitu; Pasal 108, 110, 284 Ayat 3, 1238, 1460, 1579, 1603, dan 1682 tidak
berlaku lagi.
Kenyataannya
bahwa materi dari pasal-pasal tersebut tidak sesuai lagi dengan perkembangan
dan kemajuan zaman, akan tetapi menurut Soetojo Prawirohamidjojo
bahwa tidak tepat kiranya jika pergantian
tersebut diputuskan oleh suatu badan yudisiil, berlainan halnya jika perubahan
itu terjadi melalui yurisprudensi.
Berdasarkan sistematika
yang ada di dalam KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek) di atas, hukum perdata
terdiri atas 4 (empat) buku, yaitu:
a.
Buku
I
perihal Orang (Van Personen), yang memuat hukum perorangan dan hukum
kekeluargaan;
b.
Buku
II
perihal Benda (Van Za/zen), yang memuat hukum benda dan hukum waris.
c.
Buku
III
perihal Perikatan (Van Verbintennissen), yang memuat hukum harta kekayaan yang
berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau
pihak-pihak tertentu.
d.
Buku
IV
Perihal Pembuktian dan Kedaluarsa (Van Bewijs en Verjaring), yang memuat
perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap
hubungan-hubungan hukum
Menurut
Hartono Hadisoeprapto, pembidangan lapangan hukum perdata di Indonesia menjadi
berbagai bidang yang variatif, selain dari segi ilmu pengetahuan hukum dan dari
segi sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) juga dari segi
perkembangannya
Ditinjau
dari segi perkembangannya hukum perdata di Indonesia sekarang menunjukkan tendensi
perubahan. Sebagaimana sistematika hukum perdata Belanda yang diundangkan pada
tanggal 3 Desember 1987 Stb. 590 dan mulai berlaku 1 April 1988 meliputi lima
buku, yaitu:
a.
Buku
I
tentang Hukum Orang dan Keluarga (Personen-en-Famili-erecht); .
b.
Buku
II
tentang Hukum Badan Hukum (Rechtspersoon);
c.
Buku
III
tentang Hukum Hak Kebendaan (Van Zaken);
d.
Buku
IV
tentang Hukum Perikatan (Van Verbintennissen);
e.
Buku
V
tentang Daluarsa (Van Verjaring).
Sedangkan
dilihat dari segi pembidangan isinya hukuin perdata Indonesia dalam perkembangannya
terbagi menjadi bagian-bagian antara lain:
a.
Bidang Hukum Keluarga, yaitu keseluruhan
kaidah-kaidah hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan
hukum mcngenai perkawinan, perceraian, harta benda dalam perkawinan, kekuasaan
orang tua, kedudukan, pengampuan dan perwalian.
b.
Bidang Hukum Waris,yaitu hukum yang
mengatur kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama
berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain.
c.
Bidang Hukum Benda, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak
artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati.
d.
Bidang Hukum Jaminan, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang pembebanan jaminan terhadap
benda (jaminan kebendaan) dan perorangan (jaminan perorangan).
e.
Bidang Hukum Badan Hukum, yaitu
pcraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang harta kekayaan, hak dan
kewajiban suatu badan hukum.
f.
Bidang Hukum Perikatan Umum, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara
dua orang atau lebih di mana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi.
g.
Bidang Hukum Perjanjian Khusus, yaitu
peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan yang bersifat kehartaan antara
dua orang atau lebih di mana pihak pertama berhak atas sesuatu prestasi untuk
hal-hal khusus. Misalnya jual beli, sewa mcnyewa, dan lain-lain.
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMZVVcEilJZ73LYGaoBjP9Hssf3H0Btgzt5-EAhMEDJnKG8LiDFdSVm9f6be6tAORU5z2DXw3t7KpsHTobKyCm2BE1bmyXQxnm8KXhWTU99FGbQ67cxW2vwljxbvL2xo4czl8T4yp-WjdL/s72-c/700-01037029n.jpg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar